Don't miss

Senin, 09 Mei 2016

Kisah Orang Yang Membanting Pintu Dengan Keras


By on Mei 09, 2016

Sedih

Cuma itu yang bisa saya ucapkan. Dari hati yang paling dalam. Satu saat teruntai melalui lisan. Kadang tertelan begitu saja di tenggorokan. Bila saya menyaksikan keluarga-keluarga saya berpamitan.

Tahun 2003 saya mulai memasuki rumah tarbiyah. Di tahun itu juga saya mengalami pahitnya kehilangan ketika 3 orang satu rumah itu berpamitan. Seperti anak kecil yang belum tau apa-apa, saya cuma menatap mereka kosong tak mengerti. Menyalami, lalu membaurkan perasaan haru dalam sebuah pelukan erat.

Entah apa yang mereka bicarakan. Rasa nya otak saya ketika itu bekerja ekstra keras buat mencerna nya. Namun tetap saja saya sampai pada satu kesimpulan. Saya ga tau mengapa mereka pergi. Otak dodol saya terlalu lemot buat menangkap isyarat ketidakpuasan, ketidakcocokan, atau apapun nama nya yang kira menjadi sebab mengapa ada perpisahan.

Seiring waktu, saya sedikit demi sedikit mulai paham juga akhirnya. Ada di antara kita, dalam satu rumah yang merasa sudah saling tidak cocok. Ada sebuah perbedaan yang tak mungkin bisa di satukan.

Saya merasa itu wajar. Sebagai satu keluarga , yang di besarkan dengan latar belakang berbeda. Daerah yang berbeda, sifat dan karakter berbeda. Mustahil bisa begitu menyatu dalam satu kata yang sama. Jangan kan yang isi nya beberapa kepala, pasti semua setuju, dua kepala yang di ikat dalam satu akad , bertahun, bahkan berpuluh tahun tinggal bersama, masih susah untuk menyatukan hasrat, hati, keinginan, pengertian, kepahaman, kenyamanan, kebersihan, keindahan......stooopp....**serius mak...dalam satu jabaran. Sesekali bertengkar , sesekali ribut. Yang satu beringsut, yang satu cemberut. Tapi hati, tetap ada yang membuat getar-getar rasa yang menjadikan mereka kembali bertaut. Itulah cinta.

Karena ada cinta yang menyatukan kembali rasa dan raga mereka. Bukan sembarang cinta. Karena mereka mencintai Dzat yang sama. Dzat Yang Maha Cinta.

Kemarahan akan luruh. Kekecewaaan akan luluh. Kesombongan menjadi runtuh.

Dalam satu rumah yang di dalam nya terisi saudara-saudara satu jamaah, tak mungkin rasa nya bila kita tak pernah menemui rasa kecewa. Bersinggungan, kata berbalas kata. Lalu ada yang terluka. Hati, pikiran bahkan jasad.

Sejenak setan berbisik. Lalu mengipas-ngipas bara hati yang panas menjadi api. Memerah, membakar....meluapkan kemarahan dan jiwa yang meradang.

Satu kata lantang terdengar , " Aku kecewa dengan kalian semua......"
Lalu pergi dengan membanting pintu dengan keras. Satu tekad telah tertancap, tak kan lagi ku injakkan kaki ku kembali ke sini. Kemudian pergi.

Yang meninggalkan sakit.
Yang ditinggalkan juga sakit.

Sahabat...
Saya pernah beberapa kali mengalami. Kecewa, patah, sakit. Dalam sekali. Sempat berada di ambang pintu untuk pergi. Membawa luka dan tangis untuk mencari rumah lain yang sekira nya menjadi penyembuh luka diri.

Beberapa saat saja. Saya membiarkan kegetiran itu menguasai jiwa. Bergetar rasa. Kemarahan. Kebencian berkobar. Muak. Hati yang memanas, degup gemas, gelisah. Tatapan dan kepalan tangan menahan amarah. Lalu, saya tersadar sesaat. Larut dalam istighfar. Panjaang. Dalam kesendirian. Dan satu yang tak pernah saya sesalkan, saya hanya sampai di ambang pintu rumah itu saja.

Sampai angin meluruhkan segala amarah saya. Sampai percik air wudhu membasahi gelegak jiwa saya. Dan yang pasti, ada untaian rabithah saudara-saudara saya di dalam rumah ini. Yang mengangkasa, mengetuk langit semesta. Lalu berdesir lembut meruntuhkan keangkuhan saya.

Sahabat...
Kecewa karena ulah saudara kita dalam satu rumah jamaah adalah niscaya. Pergilah sejenak. Tinggal kan rumah itu barang sekejap. Tapi jangan banting pintunya dengan keras.
Sebab satu saat, ketika kerinduan mu kembali menghentak, tak ada ragu bagimu untuk mengetuk pintu itu lagi.
Pintu yang pernah kau masuki. Dan bernaung bersama di sana.

Percayalah
Pintu itu akan selalu terbuka kapanpun kau ingin mengetuknya. Lalu kau akan saksikan sapa dan senyum saudaramu menyambut kehadiran mu kembali bersama.

Saya percaya, sejuta maaf mu akan bersambut milyaran kemaafan dari saudaramu. Dan tak kan ada lagi marah dan dendam di sana.

Pintu itu akan selalu menanti.
Menanti untuk kau sentuh lagi. Apapun ada nya dirimu. 
Dan bila kau memutuskan tak ada kata kembali. Dia akan selalu menanti kata-kata terakhirmu. 

Ucapan perpisahan. Tanpa membanting pintu. Perpisahan itu sudah cukup rasa nya. Mengukir satu kata.

Sedih.

Sri Suharni

Hanyalah seorang Emak alias Ibu yang masih memiliki kesempatan di dunia fana ini untuk bisa terus meneruskan tradisi dalam kebaikan meski via sederetan tulisan yang ringan ini

0 komentar :

Posting Komentar