Kurang lebih sudah tiga tahun saya duduk-duduk bareng dengan pekerja pabrik di perbatasan Bekasi - Cileungsi setiap malam ahad. Masih lekat dalam ingatan saya, para pekerja yang masih lumayan belia itu memandang sayaa dengan pandangan yang sukar saya lukiskan dengan kata-kata. Kaku, sungkan, ewuh pakewuh nya terjaga. Ahh, bukan itu yang saya harapkan. Terbiasa membina anak-anak abege SMK yang ceria, blak-blakkan dan apa adanya. Ternyata karakter "remaja " perkotaan masih menyisakan perbedaan dengan mereka yang tumbuh jauh dari hingar bingar keriangan dunia.
Wajah-wajah yang relatif bersih. Pandangan yang polos. Rabbi, inikah mereka yang Kau pilih untuk ku ???
Rasa batin saya saat itu. Seperti hal nya amanah yang lain, saya tak pernah berharap berupa hasil apapun. Baik dan buruk. Prinsip saya, ini amanah ....just do it. Kalau nabi saja bisa berkata qoolaa In ajriya illa ala Rabbil alamin. Da aku mah apa atuuhh bisa ngarep sesuatu.
Perlahan, kekakuan mereka mulai mencair. Saya bertekad, mereka harus merasa nyaman dengan saya. Saya harus bisa jadi ibu buat mereka, sahabat yang enak buat curhat. Saya merasa jatuh iba, di usia itu mereka sudah berada jauh dari keluarga. Kebayang galau nya.
Seiring berjalan nya waktu, satu persatu dari mereka pergi meninggal kan lingkaran. Bukan karena mereka bosan, tapi memang sistem kontrak kerja di perusahaan yang memaksa mereka kembali ke kampung halaman. Ada juga yang meneruskan kuliah. Ada beberapa yang sudah menikah.Alhamdulillah.
Dan begitulah kira nya lingkaran ini. Datang dan pergi silih berganti. Sempat terpikir untuk pergi. Tapi saya termenung kembali, saya takut.
Saya takut merindukan mereka lagi. Saya takut kehilangan bila mereka tiba-tiba berpamitan pulang kampung. Saya takut kesepian di malam ahad yang akan saya lewati. Saya mulai menikmati kebersamaan dengan mereka saat berinteraksi, walau dengan mata yang mulai redup dan menguras sisa-sisa energi saya tersisa sebelum beranjak ke tempat tidur.
Saya trenyuh acap kali melihat rekan-rekan mereka satu pabrik berbondong-bondong berjalan pulang atau pergi ke tempat mereka bekerja. Wajah-wajah asing yang masih belia itu. Berjibaku dengan keras nya hidup di perantauan.
Melihat mereka saya seperti melihat para ibu dari calon-calon generasi masa depan. Pergi di pagi hari, lalu pulang saat senja menyapa purnama. Apa masih ada yang tersisa selain wajah lelah menggayuti wajah-wajah belia mereka.
Tuntutan hidup, dan tekad kemandirian yang membuat mereka bertahan. Menyusuri jam demi jam , hari demi hari. Sampai kepada bilangan bulan dan tahun yang menelan habis kebeliaan usia mereka. Tapi inilah hidup kita sayang. Kita besar dan tumbuh dalam tempaan api dan kerasnya hantaman-hantaman ujian. Tapi itu yang membuat kita kuat. Dan semakin kuat. Kalau lah bisa, saya ingin memeluk mereka semua dalam satu rengkuhan.
Saya ingin bisikan, Allah menyayangi kita semua di dalam nama Nya yang agung. Nasib kita akan mengantarkan kita semua kejalan indah yang menghampar menuju syurga di akhirat sana. Namun apa daya, hanya segelintir dari mereka yang mau mendatangi bentangan kedua tangan saya yang lemah.
Buat sahabat-sahabat, anak-anak saya yang saya cintai di jalan Allah, teruslah semangat tak kenal lelah. Kalian adalah belia-belia yang tangguh luar biasa. Berjalan lah terus tanpa henti. Sebab perhentian kita yang sejati memang bukan di sini. Kelelahan ini akan hilang. Kesusahan akan berganti. Tapi setitik kebaikan dalam lingkaran yang kita bangun ini, in syaa Allah akan kekal abadi. Tetaplah berpegang pada Nya. Hanya Dia yang tak pernah luput karunia kan kebaikan buat kita bila kita bermujahadah mendekati Nya.
Saya percaya, mereka yang kini masih bertebaran di pojok-pojok pabrik itu, satu saat akan menjadi ibu yang kuat. Yang melahirkan anak-anak yang kuat warisan ibu nya. Seperti Musa as yang mewarisi kuat nya keyakinan sang bunda saat menghanyutkan bayi nya di sungai Nil.
Pekerja-pekerja itu, adalah perawan-perawan yang menghiasi kaki-kaki peradaban zaman yang keras dan tak ramah. Yang memaksa mereka untuk memilih berada di sana. Menghias sudut-sudut lapangan kerja yang menelan kebeliaan mereka pelan namun pasti.
0 komentar :
Posting Komentar