Lelaki gagah golongan suku Aus itu meletakkan tangannya. Melintang dileher, sebuah isyarat, bahwa jawaban dari pertanyaan yang ditujukan kepadanya adalah sebuah kematian. Maka gelisahlah sipenanya. Lebih-lebih lelaki sang pemberi isyarat, “Demi Allah! belum beranjak kedua kakiku dari tempatnya melainkan aku menyadari bahwa aku sudah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya Shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wasallam”.
Demikianlah perkataan si pemberi isyarat, Abu Lubabah. Lelaki asal madinah, yang terkenal dengan sifatnya yang lembut dan penuh kasih sayang. Pada sebuah episode perang Khandaq yang melegenda, perang yang mengukir sejarah emas perjalanan dawah Nabi yang mulia, beserta sahabat-sahabat terbaik yang menyertainya.
Di saat Bani Quraidzah menyadari keadaan mereka yang berada di ambang kekalahan, mereka meminta Rasulullah saw mengirim utusan. Seseorang yang mereka kenal baik, kualitas karakternya. Dan Rasulullah pun mengenalnya dengan baik karena sifatnya yang amanah, track record bagus ketika perang Badar, salah satu generasi awal yang memeluk Islam ketika Dirrect Selling nya pemuda tampan Mus'ab bin Umair ke Madinah. Seorang yang menghadiri baiat Aqobah yang kedua.Betapa ia berperan besar bagi perkembangan dawah Rasulullah di Madinah.
Tapi, perbuatannya yang memberi isyarat dengan tangan yang melintang di leher, membuatnya SEKETIKA ITU JUGA SADAR bahwa yang dilakukannya itu sebuah kesalahan besar, sebuah pengkhianatan terhadap amanah sang pimpinan. Pengkhianatan terhadap jamaah dawah. Gak pake nanti-nanti, ga pake di kasih taujih dulu, di ingetin dulu.
Ini di buktikan dengan perkataannya, "“Demi Allah! belum beranjak kedua kakiku dari tempatnya melainkan aku menyadari bahwa aku sudah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya Shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wasallam”.
Dan bukan hanya itu, ketika ia meninggalkan tempat, ia tidak pergi menemui Rasulullah saw, melainkan langsung pergi ke Masjid Nabawi lalu dia mengikat dirinya di salah satu tiang masjid, seraya berkata, “Aku tidak akan meninggalkan tempatku ini hingga Allah mengampuniku atas apa yang telah aku lakukan.”
Jelaslah di sini, setelah ia mengakui kesalahannya saat itu juga, lalu bertindak sebagai bentuk pertobatan atas kesalahannya itu. Maa syaa Allah.
Teman...
Banyak orang bertanya kepada saya, apa yang saya dapatkan dari segudang aktivitas saya. Mengisi majelis talim, mentoring, sampai mengurus jenazah yang nota bene saya gak mendapat "materi melimpah" dari kegiatan-kegiatan itu.
Saya akan menjawab, supaya Allah tetap melembutkan hati saya. Mungkin sedikit klise, sebab, yang sudah kenal dengan saya, cara bicara saya amatlah jauh dari istilah lembut. Cenderung cablak dan seadanya. bahkan ada yang bilang, saya nyebelin. hehheh
Tapi,saya punya keinginan besar agar Allah tetap melembutkan hati saya agar saya tetap bisa terus sensitif, mudah tersentuh, mudah empati, dan mudah menerima kritik.
Ditengah ramainya kisah Kaab bin Malik, saya lebih senang menceritakan kisah Abu Lubabah di atas, kenapa ??? Karena saya terkesan dengan kesensitifan beliau dengan sebuah tindakan yang sekilas terlihat bukan sebuah kesalahan, tapi beliau langsung menyadarinya, saat itu ia sedang berperan sebagai apa ??
Ketika menyambangi bani quraidzoh, Abu Lubabah bukanlah datang sebagai seorang lelaki madinah, yang telah dikenal baik oleh Bani Quraidzoh, tetapi sebagai seseorang yang mendapat tugas sebagai utusan jamaah. Mengemban sebuah amanah.
Maka ketika ia menyadari perbuatannya itu bisa berdampak fatal bagi jamaah, ia langsung bertobat lalu menjatuhkan hukuman atas dirinya sendiri.
Tak banyak yang memiliki sensitifitas tinggi pada keadaan diri dan sekitarnya. Bersyukurlah pada Allah karena itu sebuah karunia yang sangat berharga. Dan ini didapat dengan tempaan beragam ujian pribadi. Bagaimana supaya tak mudah mengeluh pada musibah. Tak mudah berkoar dalam ujian kehidupan. Tak mudah ribut dalam kerja-kerja jamaah yang kurang memuaskan. Tak mudah mencari dukungan dan simpati atas ketidakpuasan pribadi pada hasil sebuah keputusan.
Tapi langsung sadar diri, membuat pengakuan dan melakukan pertobatan. Banyak-banyak beristighfar bukan berarti seseorang itu banyak berbuat dosa (**pasti sih ). Tapi beristighfar adalah sebuat kaidah, aturan indah yang merupakan samudera hikmah bagi siapa saja yang melazimkannya. Hati menjadi terbuka, terasah kesesitifannya. Tak takut celaan manusia, karena dibenaknya hanya Allah saja yang menjadi tujuan.Bukan yang lain.
So, pikirkan kesensitifan diri, banyak mendengar, mengamati, tanpa sibuk berkomentar. Banyak merenung diujung malam atau selama perjalanan, memikirkan bekal apa yang sudah kita persiapkan dan amalan apa yang sudah kita lakukan. Lebih baik mendoakan. Tanpa harus mencari siapa yang telah berbuat kesalahan . Bila ini menimpa diri, segeralah memperbaiki diri. Bila ini menimpa jamaah, segera lah istighfar agar Allah segera memberi hidayah dan pertolongan. Jangan lupakan kewajiban kita menutup aib sesama, juga tidak membicarakan dia dibelakang.
Kecewa adalah biasa, sedih juga manusiawi. Belajarlah dari peristiwa-peristiwa yang sudah terlewat dibelakang. Kita bukanlah keledai yang bisa jatuh berkali-kali dilubang yang sama.
Dan ingatlah, setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Hanya mungkin belum diaspal ajah.
**Mak's
0 komentar :
Posting Komentar